Kamis, Agustus 14, 2025
spot_img
BerandaOpiniBendera One Piece di Bumi Pertiwi: Nasionalisme Gaya Siapa?

Bendera One Piece di Bumi Pertiwi: Nasionalisme Gaya Siapa?

Bagian ke 2

 

Fenomena bendera Jolly Roger berkibar di mana-mana menjelang Hari Kemerdekaan ke-80 Republik Indonesia memang bukan kebetulan biasa. Mulai dari mural gang sempit, tiang bambu halaman rumah, bahkan sampai di sekolah-sekolah dan taman kota, bendera bajak laut ala anime One Piece mendadak hadir berdampingan—bahkan kadang menggantikan—bendera Merah Putih.

Polemik muncul. Tak sedikit yang menganggap ini bentuk lunturnya nasionalisme generasi muda, tetapi tak sedikit pula yang melihatnya sebagai ekspresi baru dalam cara mencintai negeri: lewat simbol yang dekat, penuh makna, dan membangkitkan kebersamaan.

 

Antara Hiburan dan Simbol: Membaca Kode Budaya Pop

Simbol bukan sekadar gambar—ia mengandung makna, nilai, bahkan identitas. Jolly Roger, tengkorak tersenyum khas Topi Jerami, bagi para penggemar One Piece bukan lagi simbol kekerasan bajak laut, melainkan lambang persahabatan, perlawanan terhadap tirani, dan tekad untuk meraih impian.

Di sinilah kita menemukan pergeseran simbol. Merah Putih tetap sakral sebagai identitas bangsa, tetapi belum tentu relevan secara emosional bagi semua anak muda. Di sisi lain, simbol budaya pop seperti Jolly Roger menjadi lebih relatable, meaningful, bahkan bisa “dirayakan bersama” di media sosial.

Data dari We Are Social (2025) mencatat bahwa 88% Gen Z di Indonesia mengonsumsi konten hiburan berbasis anime dan pop culture Jepang secara aktif, dan 73% mengaku merasa lebih ‘nyambung’ dengan komunitas daring lewat simbol-simbol tersebut. Dalam konteks ini, nasionalisme tidak lenyap, melainkan bertransformasi.

 

Nasionalisme Gaya Gen Z: Bukan Luntur, Tapi Berubah

Mengapa sebagian orang tua panik? Karena bentuk nasionalisme yang mereka kenal adalah upacara bendera, lagu kebangsaan, pidato kenegaraan. Sementara anak muda hari ini mengekspresikan nasionalisme lewat cosplay, fanart, hingga membuat konten YouTube dengan narasi lokal dan semangat keadilan.

Ketika Gen Z memilih memakai jaket “Luffy Indonesia” saat 17-an, itu bukan pengkhianatan, tapi bentuk reclaiming simbol global menjadi milik lokal. Sama seperti dulu Rhoma Irama menyanyikan lagu perjuangan lewat dangdut, kini anak muda menyuarakan nilai perjuangan lewat anime dan TikTok.

Justru ini saatnya untuk memahami cara baru Gen Z mencintai negerinya. Mereka tidak kehilangan nasionalisme, hanya cara ekspresinya yang lebih cair, kritis, dan lintas media.

Merah Putih dan Jolly Roger: Siapa yang Lebih Viral?

Pertanyaan ini mungkin terdengar sinis, tapi penting. Jika simbol Merah Putih hanya hadir setahun sekali dan terasa formal, sementara Jolly Roger hadir setiap hari di layar, stiker, dan meme—maka siapa yang lebih melekat di memori kolektif anak muda?

Tantangannya adalah bagaimana simbol negara seperti Merah Putih bisa ditanamkan maknanya kembali, tanpa memaksa. Mungkin perlu pendekatan baru: film animasi sejarah dengan gaya anime, kolaborasi kreator konten dengan narasi kebangsaan, hingga lomba 17 Agustus yang mewadahi ekspresi kreatif Gen Z.

 

Nasionalisme Bukan Tentang Gambar, Tapi Kesadaran

Apakah membentangkan bendera One Piece berarti kehilangan kecintaan pada Indonesia? Tidak selalu. Yang perlu dikritisi bukan simbolnya, tapi apakah ada kesadaran nilai di baliknya.

Bendera hanyalah alat. Merah Putih akan terus hidup jika dihidupi oleh semangat keberanian, gotong royong, dan pengorbanan. Sama seperti Jolly Roger akan terus relevan jika dipahami sebagai simbol solidaritas dan mimpi.

 

Yang harus kita tanyakan bukan sekadar: “Kenapa mereka lebih suka bendera bajak laut?”

Tapi: “Apa yang bisa kita pelajari dari cara mereka mencintai sesuatu?”

 

Menjemput Masa Depan Lewat Simbol

Jika kita ingin Merah Putih tetap menjadi bendera kebanggaan anak muda, maka mari hidupkan maknanya di dunia mereka. Dunia yang digital, simbolik, dan penuh kreativitas.

Bukan dengan melarang, tapi dengan berdialog. Bukan dengan menolak pop culture, tapi mengisinya dengan semangat kebangsaan.

Karena pada akhirnya, nasionalisme gaya Gen Z bukan tentang memilih antara Luffy atau Proklamator. Tapi tentang bagaimana keduanya bisa hadir sebagai bagian dari narasi besar: cinta kepada negeri dalam bahasa yang mereka pahami. (Jiyong 2025)

Oleh: Achmad Haromain

Dosen FEB UMT

Berita Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru