TANGSEL – Perjalanan karier sosok Benyamin Davnie adalah kisah tentang ketekunan dan kesabaran yang jarang terdengar di panggung birokrasi. Sebelum menjabat sebagai Wali Kota Tangerang Selatan, Ia pernah berada di titik paling bawah bekerja sebagai tenaga kerja sukarela (TKS) dimana harus mengantar undangan rapat ke 32 kecamatan seharian penuh, hingga belajar prosedur dari office boy.
Dalam sebuah episode podcast Ceritain Bang Ben yang dikutip, Rabu (17/9/2025), Benyamin membuka kembali lembaran awal perjalanan hidupnya sebagai seorang aparatur negara. Dengan nada santai namun penuh makna, ia bercerita tentang masa-masa menjadi tenaga honorer yang harus berangkat kerja naik sepeda, hingga perlahan menapaki tangga birokrasi dari tingkat kecamatan sampai akhirnya dipercaya memimpin sebuah kota.
Perjalanan Karier dari Nol
Tahun 1983, seorang lulusan muda Fakultas Ilmu Sosial dan Politik jurusan Ilmu Pemerintahan baru saja menapakkan kaki di dunia birokrasi. Namanya Benyamin Davnie. Ia diterima sebagai pegawai honorer di Pemkab Tangerang. Statusnya saat itu bukan siapa-siapa, hanya tenaga tambahan yang harus bekerja keras agar dianggap ada.
Meski putra seorang kolonel, ia memilih jalan sederhana. Berangkat kerja ke kantor dengan menggunakan sepeda.
“Karena rumah dekat kantor, aku sering berangkat kerja naik sepeda. Orang heran, anak kolonel kok naik sepeda. Ya kenapa? Buat aku itu biasa saja,” kenangnya sambil tertawa dalam podcast Ceritain Bang Ben. Namun, justru dari kebiasaan sederhana itu ia belajar merendah. Tidak ada istimewanya anak pejabat kalau belum terbukti di lapangan.
Hari-hari awal sebagai honorer diisi dengan tugas-tugas kecil yang menuntut disiplin tinggi. Ia juga mengingat masa ketika harus mengantar undangan rapat ke 32 kecamatan dalam sehari penuh. Mengetik laporan secara manual, bahkan pekerjaan administratif yang seolah sepele. Tetapi dari situlah ia belajar tentang detail, tanggung jawab, dan ritme birokrasi yang keras.
“Dari pagi sampai tengah malam baru selesai. Kalau sekarang tinggal kirim WA,” tambahnya.
Perlahan, kariernya menanjak. Ia dipercaya memimpin KNPI Kabupaten Tangerang, lalu menjadi Ketua FKPPI. Pada usia 29 tahun, sebuah tonggak bersejarah lahir, Benyamin dilantik sebagai Camat Ciledug yang menjadikannya camat termuda kala itu. Sebuah pengakuan sekaligus ujian, karena ia harus memimpin para kepala desa yang usianya jauh lebih senior. Tapi di situlah ia ditempa, keberanian, integritas, dan kemauan belajar membuatnya mampu bertahan meniti karier di berbagai posisi strategis di Pemkab Tangerang kala itu.
Babak Baru Tangerang Selatan
Perjalanan panjang itu membawanya ke babak baru saat Tangerang Selatan resmi berdiri sebagai kota otonom. Benyamin dipercaya mendampingi Wali Kota pertama, Airin Rachmi Diany, sebagai wakilnya. Selama dua periode, ia bukan hanya wakil formal, melainkan mitra strategis dalam membangun Tangsel dari kota baru yang serba terbatas menjadi kota modern yang berkembang pesat.
Bahkan, Airin sendiri kerap mengaku banyak belajar dari pengalaman dan kedalaman berpikir Benyamin. Di balik perannya yang terlihat tenang, Benyamin menjadi figur penyeimbang, sekaligus rujukan dalam mengambil keputusan-keputusan penting.
Hingga akhirnya, kepercayaan itu tiba padanya. Benyamin Davnie dilantik sebagai Wali Kota Tangerang Selatan, melanjutkan estafet kepemimpinan yang pernah ia jalani bersama Airin.
Kini, setelah puluhan tahun mengabdi, Benyamin menoleh ke belakang dengan syukur. Dari honorer yang berangkat kerja mengayuh sepeda, hingga menjadi Wali Kota Tangsel. Satu hal yang ia yakini tetap sama sekaligus menjadi pengingat bagi generasi muda ialah “pengabdian birokrasi bukan sprint singkat, melainkan maraton panjang yang hanya bisa dituntaskan dengan ketekunan, kerendahan hati, dan komitmen“.
“Saya pernah ada di posisi mereka, jadi saya tahu rasanya. ASN itu bukan sekadar status, tapi tanggung jawab,” ujarnya.
Menurutnya semua ini berawal dari hal sederhana. Dari tekun menjalani tugas kecil, sampai akhirnya dipercaya memimpin kota besar.
“Disiplin dan tanggung jawab yang dibentuk di masa lalu itu yang menempa aku sampai sekarang,” ,” ujarnya sambil tersenyum.
Kisah Benyamin adalah bukti nyata bahwa kerja keras, kesabaran, dan kerendahan hati bisa membawa seseorang dari sekadar pesepeda pengantar undangan hingga menjadi pemimpin kota. Sebuah perjalanan yang sederhana, namun meninggalkan inspirasi mendalam bagi siapa pun yang bercita-cita mengabdi lewat jalur birokrasi.