Tragedi banjir bandang dan tanah longsor yang melanda sebagian besar wilayah Sumatra, termasuk Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat, telah membuka kembali lembaran klasik dalam setiap situasi darurat: polemik seputar bantuan kemanusiaan. Di tengah duka dan lumpur, muncul perdebatan sengit antara upaya yang dipublikasikan oleh pemerintah dan pejabat, dengan aksi senyap yang dilakukan oleh masyarakat dan lembaga non-profit. Pertanyaannya kemudian menyeruak: di antara hiruk pikuk ini, siapa yang benar-benar bertindak dengan ketulusan murni?
Pejabat di Garis Depan dan “Perang Data” Bantuan
Kita melihatnya di layar kaca dan lini masa media sosial: pejabat negara turun langsung ke lokasi bencana. Foto-foto penyerahan bantuan secara simbolis, pernyataan pers mengenai total nilai bantuan yang sudah digelontorkan (bahkan ada yang mencapai puluhan miliar rupiah), hingga klaim bahwa pemerintah telah “berbuat dan berbagi lebih dari yang terlihat” menjadi narasi utama.
Namun, di sisi lain, narasi ini sering kali disambut dengan sindiran atau kritik. Beberapa pejabat dituding kurang berempati dalam berkomunikasi, seperti polemik mengenai harga beras bantuan yang sempat viral atau klarifikasi atas data bantuan yang keliru. Sikap defensif pemerintah yang merasa upayanya diremehkan publik memicu “perang data” di ruang maya, seolah-olah besarnya nilai rupiah bantuan menjadi tolok ukur utama keberhasilan penanganan bencana.
Penting untuk diakui, upaya masif pemerintah, dari penyediaan logistik dalam jumlah besar, pengerahan alat berat, hingga komitmen pembangunan kembali infrastruktur, adalah sebuah keniscayaan. Namun, publik juga menuntut transparansi dan akuntabilitas di setiap rupiah dan kilogram bantuan, alih-alih hanya narasi tentang nilai yang fantastis.
Masyarakat Senyap dan Ketulusan Tanpa Publikasi
Di tengah gemuruh sorotan kamera para pejabat, ada kekuatan lain yang bergerak dalam kesunyian: masyarakat, komunitas, lembaga amal independen, hingga influencer atau relawan yang murni berinisiatif. Mereka adalah kelompok yang berjuang menembus medan sulit, memastikan bantuan sampai ke desa-desa terpencil yang terisolasi, bahkan menyentuh sasaran yang luput dari pendataan resmi.
Aksi-aksi ini sering kali tanpa publikasi berlebihan. Tidak ada konferensi pers besar, tidak ada pemotongan pita simbolis, yang ada hanyalah keringat, air mata, dan kelegaan warga yang menerima kebutuhan pokok secara langsung. Upaya penggalangan dana dari rakyat untuk rakyat, seperti yang dilakukan sejumlah figur publik dan komunitas, berhasil mengumpulkan miliaran rupiah dalam waktu singkat. Angka ini mungkin lebih kecil dari total bantuan pemerintah, namun menjangkau lokasi-lokasi yang untouched dan mencerminkan kekuatan gotong royong yang sejati.
Bencana Bukan Kompetisi Ketulusan
Lantas, siapa yang lebih tulus? Pemerintah, pejabat yang turun langsung, atau masyarakat yang bergerak senyap?
Sebuah bencana adalah momen di mana tindakan harus berbicara lebih keras daripada kata-kata atau nilai nominal. Ketulusan sejati tidak diukur dari jumlah like atau share di media sosial, juga tidak diukur dari besarnya dana yang diumumkan.
Ketulusan adalah tentang efektivitas. Ia hadir ketika beras bantuan benar-benar sampai ke dapur pengungsi dalam kondisi layak, ketika tim medis sukarela tiba di lokasi terpencil tanpa menunggu instruksi, dan ketika jembatan darurat dibangun dengan cepat, baik oleh TNI maupun inisiatif komunitas.
Pemerintah punya mandat dan sumber daya besar untuk penanganan jangka panjang (rehabilitasi dan rekonstruksi). Masyarakat dan lembaga independen punya kelincahan dan empati akar rumput untuk penanganan darurat yang cepat dan tepat sasaran.
Alih-alih menyindir atau berkompetisi, momentum bencana di Sumatra harusnya menjadi panggung untuk kolaborasi total. Pemerintah perlu terbuka dan mengakui bahwa birokrasi yang lambat dapat diisi oleh kecepatan dan ketepatan relawan. Sebaliknya, relawan dan masyarakat harus memahami bahwa sumber daya dan jangkauan pemerintah adalah kunci untuk pemulihan skala besar.
Pada akhirnya, bagi para korban, hal terpenting bukanlah siapa yang memberi, melainkan bantuan itu sampai. Mari kita hentikan perdebatan tentang siapa yang paling tulus dan fokus pada satu tujuan: kita bersama membantu korban bencana Sumatra. Biarkan waktu dan hasil yang membuktikan, bahwa dalam kesusahan, bangsa ini selalu memiliki hati yang tulus untuk menolong, dari manapun datangnya uluran tangan itu.





