Rabu, Desember 24, 2025
spot_img
BerandaOpiniIlmu yang Kehilangan Cahaya: Membaca Banjir Sumatra dengan Konsep Al-‘Ilmu Nūr dan...

Ilmu yang Kehilangan Cahaya: Membaca Banjir Sumatra dengan Konsep Al-‘Ilmu Nūr dan Nūrun ‘Alā Nūr

Banjir besar yang kembali melanda Sumatra bukan sekadar fenomena cuaca ekstrem atau “musim hujan yang kebetulan lebat”. Ia adalah cermin dari akumulasi kerusakan yang dilakukan manusia secara sadar, sistematis, dan berulang. Ironisnya, kerusakan itu tak lahir dari tangan-tangan yang tak mengerti, tetapi justru dari orang-orang berilmu yang paham betul tentang hutan, air, risiko, dan dampaknya, namun tetap memilih merusak.

Dalam tradisi Islam, konsep al-‘ilmu nūr (ilmu adalah cahaya) dan nūrun ‘alā nūr (cahaya di atas cahaya) menjadi penanda penting: ilmu tidak boleh berdiri sendiri tanpa moral, akhlak, dan hidayah. Ketika ilmu dipisahkan dari cahaya, ia berubah dari petunjuk menjadi alat pembinasaan. Banjir Sumatra adalah salah satu buktinya.

Ilmu Seharusnya Cahaya, Bukan Kedok Pembenaran

Ungkapan “al-‘ilmu nūr” mengandung makna bahwa ilmu adalah penerang bagi manusia: menghilangkan kebodohan, membuka wawasan, dan membawa manusia pada kebaikan. Tetapi imam besar seperti Imam Syafi’i sudah mengingatkan:

“Ilmu itu cahaya, dan cahaya Allah tidak diberikan kepada hati yang bermaksiat.”

Artinya, ilmu hanya menjadi cahaya bila berada di hati yang bersih. Bila tidak, ilmu justru menjadi alat pembenaran dosa.

Dan inilah tragedinya:

hutan Sumatra dibuka bukan oleh orang bodoh, tetapi oleh orang yang mengerti vegetasi, topografi, debit air;

izin tambang dan perkebunan diteken oleh orang yang paham AMDAL dan kerangka regulasi;

pembangunan di ruang rawan bencana disahkan oleh teknokrat yang tahu dampaknya.

Yang memahami semua risiko itu bukan masyarakat biasa, melainkan mereka yang berijazah tinggi, menguasai teori, lulus pelatihan, memegang jabatan, dan mengkaji data.

Di titik ini, ilmu kehilangan cahayanya.

Kegelapan yang Lahir dari Kecerdasan

Banjir Sumatra, kebakaran hutan, longsor, dan sedimentasi sungai bukan sekadar hasil hujan ekstrem. Ia adalah akumulasi:

  • deforestasi besar-besaran,
  • pembiaran kawasan tangkapan air rusak,
  • proyek yang memotong aliran sungai,
  • penataan ruang yang mengabaikan ekologi,
  • kebijakan yang terlalu mudah mengeluarkan izin.

Kesemuanya lahir dari keputusan berpengetahuan tinggi, bukan dari ketidaktahuan.

Bencana ekologis zaman ini membuktikan satu hal:
kerusakan paling parah bukan dilakukan oleh orang bodoh, tetapi oleh orang cerdas tanpa cahaya moral.

Inilah sisi gelap dari ilmu yang terlepas dari iman.

Nūrun ‘Alā Nūr: Cahaya di Atas Cahaya yang Kini Langka

Dalam QS. An-Nur ayat 35, Allah menggambarkan petunjuk sebagai nūrun ‘alā nūr—cahaya berlapis cahaya. Ulama menafsirkannya sebagai:

  • cahaya akal,
  • cahaya ilmu,
  • cahaya iman,
  • cahaya amanah.

Ketika empat cahaya ini menyatu, lahirlah manusia yang jujur, adil, dan menjaga bumi. Namun jika akal dan ilmu tidak dibimbing iman dan amanah, maka ilmu berubah menjadi topeng.

Inilah yang terjadi pada banyak kebijakan lingkungan:

  • ilmu digunakan untuk menghitung keuntungan, bukan kebaikan;
  • teknologi digunakan untuk mengeksploitasi, bukan melindungi;
  • kecerdasan digunakan untuk merapikan manipulasi, bukan menyelamatkan.

Maka runtuhlah “cahaya di atas cahaya”, dan lahirlah gelap di atas gelap.

Banjir sebagai Pesan Moral dari Alam

Setiap bencana selalu membawa pesan. Banjir Sumatra memberi kita pesan penting:

  • bahwa kita tidak sedang kekurangan ilmuwan lingkungan,
  • tidak kekurangan ahli geospasial,
  • tidak kekurangan pejabat bergelar panjang.

Yang kita kekurangan adalah cahaya moral nur yang harusnya menuntun ilmu.
Ketika cahaya itu padam, ilmu berubah menjadi alat perusak yang lebih mematikan daripada kebodohan.

Alam akhirnya berbicara dengan bahasanya sendiri. Sungai meluap, tanah bergerak, hutan terbakar semuanya adalah bentuk protes terhadap ulah manusia berilmu yang mengabaikan amanah.

Mengembalikan Cahaya Ilmu untuk Menyelamatkan Bumi

Untuk menghentikan rantai bencana, kita harus kembali ke hakikat ilmu sebagaimana ajaran Islam dan kearifan peradaban:

  1. Ilmu harus kembali berpasangan dengan iman. (Tanpa iman, ilmu hanya alat kalkulasi untung-rugi).
  2. Etika ekologis harus hadir dalam setiap keputusan. (Amanah menjaga bumi adalah perintah Ilahi, bukan sekadar urusan teknis).
  3. Manusia berilmu harus menjadi “penjaga cahaya”, bukan penyebab kegelapan. (Pemimpin, ilmuwan, konsultan, birokrat, dan pengusaha harus menempatkan nurani di atas keuntungan).
  4. Lingkungan harus dipandang sebagai ayat Allah. (Merusaknya sama saja dengan merusak tanda-tanda-Nya).

Kembalikan Cahaya Sebelum Semuanya Benar-Benar Gelap

Banjir Sumatra bukan hanya bencana alam. Ia adalah alarm spiritual, etis, dan intelektual bagi kita semua.

Ia mengingatkan:

ketika cahaya iman mati, ilmu tidak lagi menyelamatkan, ia justru menghancurkan. Dan bila ilmu terus digunakan untuk melegitimasi kerusakan, maka bencana bukan akan berhenti, tetapi justru membesar.

Sudah saatnya ilmu dikembalikan pada hakikatnya:

menjadi cahaya yang menerangi bumi dan manusia, bukan menjadi alasan bagi kegelapan baru.

Oleh : Achmad Haromain., M.I.Kom

Deson : FEB UMT

Berita Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -spot_img
- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru